'Menyerahlah!'

https://meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi: Mik

Seorang perampok tidak memiliki sisi kedamaian yang membuatnya nyaman dan lega. Seorang perampok akan dipenuhi kegelisahan dan ketakutan atas apa yang akan menimpanya. Jadi, tidak mungkin seorang perampok menikmati keperampokannya dengan tenang. Sedikit gemerisik dedaunan yang rontok digulung angin, mungkin akan membuatnya terkejut. Apalagi suara dentuman keras, tentu akan membuatnya syok. Padahal… hanya suara ban yang kempes.  Begitu juga dengan hidup. Keliaran akan membuat diri kita tidak nyaman. Kita dihadapkan pada medan yang luas tak bertepi. Berjalan tak ada tujuan, berlari malah semakin tak terkendali. Bingung, kosong, bego, marah, sedih dan sederet rasa yang menusuk-nusuk kalbu.

Di saat si pengejar menikung, kita pun bergerak cepat meremas waktu, membangun benteng hidup yang kokoh, memeras energi tanpa batas, berpikir di luar landasan, berpacu semalam suntuk dalam keliaran padang Afrika. Kita telah melecut hidup dalam belenggu keras. Merantai jiwa di tiang gantungan. Karena seperti perampok, kita tidak mungkin menikmati hari-hari indah dalam kenyamanan yang mengancam jiwa.  Kegelisahan senantiasa menghantui. Bahkan pada bayangan kita sendiri menjadi momok yang menakutkan.

Keliaran hidup membuat derita tak bertepi. Membungkus rasa pada banyak hal yang seakan mengancam kita, meneror dalam berbagai arah sehingga kita memerlukan biduk penyelamat atau benteng hebat penangkis semua serangan. Tentu banyaklah pengorbanan yang harus dipertaruhkan untuk tujuan tersebut. Menguras banyak materi dan energi.

Pengorbanan besar-besaran itu sayangnya tidak membuahkan hasil. Usaha yang luar biasa itu sia-sia. Karena biduk yang kita desain ataupun benteng kokoh yang kita bangun terdapat dalam dimensi keliaran yang sama. Keliaran alami selama wujud kita masih bersentuhan dengan tanah, pembauan kita masih sanggup membedakan kelezatan dan lawanannya. Di sanalah derita meminta jatah kewujudannya atas ciptaan Tuhan. Lantas, mungkinkah keliaran itu dihilangkan? Tentu saja! Satu-satunya jalan menghindari terror hidup yang mengikis kedamaian batin hanyalah come back to the Creator. Dengan bahasa lain ‘menyerahlah’ terhadap apa pun keputusan Sang Pengadil. Dia yang memiliki alam semesta tentulah mengerti keadaan kita sedetilnya. Menyeret diri pada-Nya tanpa keterpaksaan adalah kemestian atas kelelahan keliaran yang sebelumnya kita lalui. Penyerahan yang mutlak tidak lagi dilecut derita. Penyerahan diri seutuhnya serta menjadikan-Nya sebagai satu-satunya obsesi akan berefek pada matinya sebungkus rasa yang membingkai hidup dalam kemasygulan. Dunia rasa telah berperan terlalu dominan sehingga matilah fungsi hati untuk megingat Sang Pencipta. Kekeruhan jiwa membuat hidup mengejar apa yang tidak semestinya. Bayang-bayang selamanya tetap sama. Tidak ada sebab akibat yang mungkin ditimbulkannya. Bayangan pohon yang terpacak menutupi jalan, tentu saja tidak bisa menghentikan si pengendara. Jadi, kita telah diliarkan oleh bayang-bayang yang tentulah tidak memiliki rupa dan daya. Bayang-bayang telah membelenggu dan menyiksa jiwa kita selamanya. Sangat aneh, tentu aneh, bila kapan bayang-bayang memiliki kekuasaan?

Seseorang yang terlalu jauh menuju Barat, tentu dia telah meninggalkan Timur sejauh itu juga. Seandainya keliaran telah menunggangi hidup kita tanpa kendali, semestinya kita telah memasang tabir tebal dengan Sang Maha Benar. Tidak ada jalan lain memperbaikinya selain menyerah. Takluk adalah bentuk penghambaan sejati terhadap-Nya. Mudah-mudahan bayang-bayang itu semakin luntur dengan hadirnya mentari di hati kita.


Riwang

https://meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi: Meme




















Malam kelam basah
Dalam gerimis ukirkan waktu
Bahwa pergantian hari telah mulai
Dari lambai nyiur di tepian Meunasah

Sepi menyeruak hati
Bisu membekap kalbu
Darah telah membeku
Semua dalam gerak waktu

Kosong datang menyapa
Hampa membisik jiwa
Tiada melabrak ke muka
Setitik noktah kau ternyata

Sekerat salju lebih berupa
Sehelai rambut masih sangat nyata
Setarikan kuas di kanvas terlalu berwarna
Sesungguhnya kau (entahlah ada...)

Meraunglah di puncak Halimon
Merataplah di Gua Krueng
Bersendalah di warung kopi
Kata-kata ternyata tiada

Senang-susah hanya rasa
Sakit-perih cuma nama
Saat tabir tersingkap
Hanya butir-butir embun bening basah
*****

Kamus:
Riwang= Kembali
Meunasah= Surau
Halimon= Bukit penuh mistis di Tangse
Gua Krueng= Gua besar yang sebagian tidak ditemukan lagi di perbatasan Laweung-Batee

Puisi Ramadhan

www.meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi: Okman Ghadova


Seribu bulan pada semalam
Seribu kebaikan pada satu kebaikan
Berjuta kemenangan dalam sebulan
Tidakkah mengusik nurani?

Duhai jiwa, betapa terbuai dalam embusan hawa
Gerimis hujan telah reda
Butiran embun masih bertahan di ujung helai daun pisang
Tanah pun hitam basah menyambutnya

Berani? Ayo Sambangi Gua Ular di Padang Tiji

www.meucensemua.blogspot.com
Dua pemuda sedang mengamati pintu Gua Uleue (Foto: Al-Fatwa)

Sebagai daerah yang diapit beberapa pegunungan, Padang Tiji memiliki sejumlah potensi wisata yang mengagumkan. Yang sangat fenomenal tentu saja Lingkok Kuwieng (nama lamanya Uruek Meuh) yang dinobatkan sebagai Grand Canyon-nya Aceh. Tahukah Anda sebenarnya Krueng Rajui/Krueng Uruek Meuh ini adalah inti kemolekan yang Padang Tiji miliki. Sepanjang aliran sungai yang berliku ini ditemukan tempat-tempat genangan air yang dalam (Aceh: tuwi/angkok) dengan relief bebatuan yang eksotik. Juga dijumpai tebing sungai yang curam dan memesona. Tak ketinggalan pula sejumlah gua alami yang berjejeran di sekitar tebing sungai Uruek Meuh ini.

Dan inilah gua yang paling ekstrim di antara gua-gua tersebut. Namanya Gua Uleue. Jangan tanyakan berapa ekor ular yang berumah di gua ini. Karena kami sendiri hanya berani menatap pintunya saja. Selebihnya hanya mencoba menerangi bagian dalam gua yang gelap dan senyap itu dengan sinar senter. Memang tak kelihatan kalau di situ ada sejoli piton yang menguap atau bayinya yang sedang bermalas-malasan. Maklum, di dalam sana ada sekat-sekat alami yang tak mungkin ditembusi cahaya senter. Ditambah lagi dengan kontur mulut gua yang menjorok ke perut bumi. Hal ini menyulitkan pengamatan ke kedalaman gua selain dengan masuk dan memeriksanya secara langsung apa saja penghuni rumah alam tersebut. Persoalannya tidak ada yang bersedia tunjuk tangan sebagai voluntir, mungkin Anda?


 www.meucensemua.blogspot.com
Dua ekor piton di pintu masuk gua (Foto: Al Fatwa)


 www.meucensemua.blogspot.com
Tebing curam di sekitar gua Uleue (Foto: Al Fatwa)

Di era 80-an, saat hutan-hutan di sekitar sungai ini masih sangat rapat, ada beberapa voluntir komunitas pelajar Al-Fatwa Padang Tiji yang menerabas masuk Gua Uleue ini. Dari cerita mereka diketahui kalau di dalamnya sangat banyak ular. Bahkan di mulutnya yang tumbuh pohon-pohon hijau, sebagian besar tertutupi ular. Mulai dari rantingnya sampai dedaunannya. Di mana-mana dijumpai ular. Si pemberani ini menurut cerita sempat mengusap beberapa ular yang nempel di atas dahan. Saking menikmatinya, ular-ular ini hanya mengangguk-angguk saja dengan malasnya. Bahkan dia menyediakan lapak di kepalanya untuk dirayapi ular. Tentu saja kawan ini paham dengan dunia si ular.

Sebagai informasi, ular gua berbeda karakter dengan ular yang hidup di alam terbuka. Ular gua cenderung pemalas dan masa bodo alias cuek. Sebagai predator, ular gua ogah mengganggu manusia kecuali dalam keadaan terpaksa seperti terancam jiwanya dengan cara terinjak atawa lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena dengan berumah di gua sebenarnya mereka hidup di gudang dolog. Gua adalah sarangnya para vampire kecil penyuka gelap, kelelawar. Nah,kelelawar-kelelawar ini secara bergantian menyediakan makanan yang sangat cukup untuk ular-ular, baik dari segi gizi maupun kuantitasnya. Asupan nutrisi daging kelelawar sangat memanjakan lidah ular-ular ini sehingga mereka malas move on ke rumah lain. Dapat dibayangkan mereka akan beranak-pinak dan bercucu-cicit di dalam gua seperti Gua Uleue ini. Lantas seberapa banyakkah warga Gua Uleue ini?


Konon, kabarnya, Gua Uleue sekarang tidak lagi memiliki stok ular yang luar biasa banyak karena sering didatangi pawang ular yang menurut radio meuigoe (isu) berasal dari daerah Meulaboh. Ular-ular ini digotong keluar oleh pawang illegal ini untuk tujuan komersil. Bila tidak ada pihak yang peduli, mungkin saja beberapa tahun ke depan Gua Uleue ini hanya tinggal namanya saja. Tapi Anda jangan putus asa dulu, kami yakin stok ular masih cukup untuk menguji keberanian Anda. Paling tidak, dua-tiga ular jenis piton pasti menyambut kedatangan Anda di pintu masuk gua. Mereka biasanya nongkrong di celah-celah karang. Kalau Anda terlanjur melangkah jauh ke dalam untuk menguji adrenalin Anda mungkin, atau sekedar menyorot ke dalam gua, maka ular-ular yang sopan itu berada di atas kepala Anda tanpa Anda sadari. Sebaiknya selidiki dulu sekeliling dinding batu mulut gua tersebut.

Gua Uleue dapat dicapai dari Seulasak, Blang Putek, Padang Tiji. Posisinya di atas tebing sungai sedikit membutuhkan kehati-hatian saat menysusuri tebing yang curam dan licin itu. Sebelum naik tebing, Anda akan disuguhi pemandangan indah Angkok Pineung (nama baru: Tuwi Gajah) yang menjadi kolam alami anak muda Padang Tiji. Di sinilah kolam mandi yang sebenarnya. Airnya yang hijau menggoda membuat Anda betah berenang atau terjun dari ketinggian tebing karangnya yang menawan. Angkok Pineung ini telah diekspose tv nasional lewat ekspedisi motor trail mereka. Untuk mengobati rasa penasaran Anda, ada baiknya Anda tonton video berikut ini:




Sedikit tambahan, gua Uleue ini berdampingan dengan beberapa gua lain yang tak kalah menarik dan punya rahasia tersendiri. Sebut saja, Gua Kareueng Puteh, Gua Meuncanang, Gua Muslimin, Gua Seuladang dan beberapa gua lain. Hampir semua gua di kawasan Blang Putek ini dihuni reptil melata tak berkaki itu. Tapi jangan takut, mereka tidak berminat pada Anda karena mereka hidup di restoran alami yang segala kebutuhan makanannya senantiasa terjaga. Ayo, berkunjung ke sana, ke Gua Uleue atawa gua-gua lain sembari menikmati tebing karang dan sungai Uruek Meuh ini yang keindahannya bisa diuji. Atau sekedar mengisi liburan Anda untuk mandi di kolam alami Angkok Pineung ini.


Baca Juga:

  1. Viral dan Misterius! Di Sinilah Kampung Kuno Suku Mante 
  2. Asai Mula Guha Tujoh 
  3. Asai Mula Gua Tujoh (TAMAT)
  4. Ternyata di Laweung Selain Gua Tujoh Ada Gua Lebah
  5. Batu Landak ini Laku 83 Juta 
 

Asai Mula Guha Tujôh (TAMAT)

www.meucensemua.blogspot.co.id
Gamba geuceuë lé Mikmilia
“Bukôn keuh mureuëd di kamoë meunan, tapi neutém keuh sayang keu rakan kamoë nyang sakèt di ateuh glé jéh. Keu kamoë adak hana neupakoë hana keuh dalèh, tapi neubri keuh makanan ubéna mudah keu rakan kamoë jéh nyang teungoh sak-dak nyan,”seuôt Keutua nyan ngon haté rangoë. Ureuëng inông nyan tan geupakoë, gaséh ngôn sayang ka leukang lam dada jih. Hana teuka weuh meusigeutu. Jibéb jidhôt jiyuë minah, leuh nyan jibeurangkat jigrak gaki. Ureuëng laèn pih meunan hi, hana sayang keu aneuk agam nyang teungoh apôh-apah nyan.

Kheun Keutua bak awak nyan, “Bah ta gisa u glé klayi rakan e, meunoë that hi ureuëng di sinoë. Keudéh nibak Allah ta mohôn pinta, beugeubri jalan kiban nyang jroh keu geutanyoë bandum.”

Akhé jih awak nyan ban nam sigra jiriwang. Ngon reu’oh-reuah laju jiék gôh manyang meubatèe kareuëng. Ho nyang geupandang meuhalak luah barieh meubanja. Cukôp ceudah leumah bak mata. Bah pih pruet deuk ngôn grah, leumah peumandangan lagèe nyan jeuët keuh keu ubat mata. Trép geuseutot rot ueh woë sampoë uroë ka sinja. Watèe meusapat ngôn rakan nyang sakét nyan geurawi ulang kisah seudéh nyang meukaleuëng u ateuh awak nyan.

“Ta saba mantong hai ngôn meutuah, di balék nibak nyan teuntèe na hikmah nyang Allah neuk peunyata,” seuôt rakan nyang sakét hana putôh asa.

“Alèh kiban, hana peu-peu lé badan lôn nyoë. Sang ka mangat, ka teuga lagèe awai dilèe. Nyô singôh sihat, jeuët ta beurangkat laju,” sambông narit ngôn nyang sakét nyan teutap gléh ië muka geuh. Rakan nyang la’én seunang geurasa. 

Malam pih sigra teuka. Aneuk muda nyoë teungeuët pansan saweub hèk raya. Sulôih nyang akhé awak nyan ka jaga, ka ladém geuseumanyang sampoë fajar teuka. Teungôh geuibadat geupujoë Allah, teuka keuh geumpa nyang sép teuga. Bumoë meuayôn meuputa-puta, sigo meusinyôk sigo rata, sang-sang neuk reubah ancô reulé, lham binasa. Awak nyoë ban tujôh gét that teumakôt, leumôh teuôt yo beukon lé. Geumeuratéb geulakèe lindông nibak bala raya nyan. Na trép siat, ngôn teukeudi Tuhan, geumpa pih sungap, bumoë sunguë klayi lagèe beunoë, lagèe hana leuh bala.

Beungôh jih mata uroë teubiet reudèe, angèn jipôt leupië lam tuleuëng. “Jak ta saweu u gampông nyang baroë awak gata teumèe. Soë teu’ôh awak nyan peureulèe bantuan geutanyoë saweub geumpa beuklam teuga lagoina,” bri usôlan rakan nyang saket nyan. Awak nyang laèn pih sama anggôk hana dawa. Sigra geulangkah awak nyan tujôh, langsông jitrôn gôh ngôn barieh nyang meuriti meubanja-banja. Nyô baroë geurasa jeuôh gampông nyan, tapi kali nyoë sang cit di keuë mata. Na siat trôh keuh aneuk agam nyoë u gampông nyang ceudah seureuta gléh nyan.

“Astaghfirullaah!” Tujôh aneuk muda nyoë teuklik teukeujôt.  Teutahé teuhireun peu nyang leumah dikeuë mata awak nyan. Rumoh nyang baroë jikalon dhiet that, ka meugantoë hi ka jeuët keu batèe kareuëng seureuta guha. Meunan cit ureuëng meusidroë hana leumah, ka habéh  jeuët keu batèe bandum.

“Ya Allah kamoë meulakèe ampôn!” tubiet su ureuëng nyan ban tujôh. “Ci ta rawôn-rawôn, soë teu’ôh na nyang jeuët ta tulông,” kheun sidroë ureuëng nyan mantong ngôn ië muka teumakôt. Jak keuh aneuk muda nyoë geukeuliléng gampông. Trôh keuh awak nyan bak saboh rumoh nyang leupah rayeuk. Nyan keuh rumoh ureuëng kaya nyang geukhanduri peukawén aneuk. Di keuë rumoh nyan mantong na lumô meugeurugôh, geuneuk sië bak uroë laén kareuna acara jih tujôh uroë tujôh malam. Sayang jih, lumo gap nyan kajeuët keu batèe. Meunan cit rumoh raya nyan ka meuubah ujud keu guha batèe.

Aneuk muda tujôh nyoë geutamông geujak pareksa. Beutôi keuh nyang geusangka beunoë kareuna lam rumoh nyan na sijudô lintô ngôn dara barô di công peulamin nyang kajeuët keu batèe. Awak nyan geuistighfar lé geulakèe ampôn nibak Po Sidroë. Leuh nyan geutrôn laju bak tingkat phôn rumoh nyang ka lham keudéh lam tanôh.

Gét that teukeujôt ôh ka geutamông nibak tingkat phôn. Ramèe aneuk mièt di sinan teutahé ganté, teubangai keudroë lagèe gadoh ingat. Timang di ateuh ulèe aneuk miet nyan, meugantung batèe nyang cukôp raya. “Mungkén lampu Kristal meugah nyang ka jeuët keu batèe gantung nyoë,” teus’ah lam hate awak nyan. Aneuk muda nyoë geutanyông, pakon aneuk miët nyan na di sinan. Seuôt sidroë lam kawan lé nyan, “Hana ngôn peugah hai Teungku meutuah, beuklam geumpa meuayôn donya. Hana meuteu’ôh pakriban cara, ban meupeuhah mata ka na kamoë di sinoë, di miyup batèe meugantung nyoë.”

“Meunyô meunan hai adoë bandum, jak ta ikôt kamoë u luwa, poma ngôn abu gata hana lé, ka keuheundak Po habéh jeuët keu batèe.”  Meunan jideungô tutô haba nyan, jimoë ba’é aneuk manyak nyan jiklik ngôn su raya. Aneuk muda nyoë jiilah-daya, jipeuteunang ngôn jipeuseungap sampoë aneuk manyak nyan hana lé rô ië mata.

Uroë meugantoë cit hana meurasa, nibak Aleuhad hingga Seunanyan. Meunan cit buleun jisalôp masa, nibak Asan Usén jinoë ka Puasa. Meunan keuh meuputa-puta watèe, aneuk manyak nyan jipeureunoë beuët, jipeureunoë meubaca, jipeureunoë teumuléh. Meunan cit jipeureunoë teumaguen sampoë meuphôm lagi mahi. Watèe trôh buka puasa, cit ka teuhidang meunakeun nyang mangat-mangat, si ulah-ulah na sidroë dèndayang nyang peusiap peunajôh mangat nyan.   

Nibak saboh jan, kheun keuh Keutua aneuk muda tujôh nyan, “Aneuk miet meutuah asoë syuruga bandum, kamoë neuk tamông keudéh u dalam. Awak gata tinggai di luwa, tameujroh-jroh sabé keudroë-droë. Mungkén trép kamoë meugisa, alèh sithôn atawa dua. Saweub hajad di kamoë beutrôh. Yôh awai di gampông meunan kamoë meukasad.” Uroë buleun bak watèe nyan nakeuh buleun Meuapét atawa Zulqaidah, uroë ureuëng jak pubuet rukôn u tanôh suci nyang puncak jih timang bak buleun Aji atawa Zulhijjah.

Akhé jih aneuk muda ban tujôh nyoë geutamong lam guha nyan ngôn pintô nyang meubiza-biza. Tujôh ureuëng nyan maséng-maséng geupiléh pintô tamong keu droë. Aneuk miet di luwa jiprèh ngôn cukôp saba. Watèe langét ka mirah siblah rot barôh, aneuk miet nyoë han ék jitheun haté lé. Jitamong bagah u dalam guha, jijak mita dalém nyang tujôh nyan. Tapi peu nyang jimita hana meureumpok lé, aneuk muda nyang jroh peurangui nyan, nyang kajeuët keu gurèe seureuta ureuëng chik awak nyan ka gadoh ka guha seuba, gaéb hana meuhoka. Malam jih, aneuk manyak nyan bandum meulumpoë keu aneuk muda nyang gét peurangui nyan. Lam lumpoë nyan awak nyan tujôh geuwasiet bak aneuk miet nyan, “Hai aneuk miet geunaséh Po, meubèk lé tamita kamoë nyoë, saweub di kamoë teungôh meupubuet rukôn di tanôh suci. Tameujroh-jroh sabe keudroë-droë, tapakoë keu agama.”

Meunan keuh paneuk haba, aneuk manyak nyoë jimeuudép sabé keudroë-droë sampoë teuka ureuëng laèn nyang cok awak nyan. Haba aneuk muda tujôh jèh nyang ék aji, ka meusyuhu ban saboh donya. Ramé trôh teuka ureuëng laén nyang neuk ngui peukateun lagèe aneuk muda tujôh nyan. Tapi hana sidroë nyang beutoi trôh u Ka’bah mulia. Alèh mungkén pintô guha nyan ga geugunci keu geutanyoë bandum. (Seuleusoë)

(Meu’ah nyô calitra nyoë meutamah atawa meukureuëng dari nyang beutoi ureuëng tuha calitra. Lom, na meubagoë jeunéh atawa pèrsi hikayat Guha Tujôh nyang geututô lé ureung tuha awai). 

Baca Juga:

Asai Mula Guha Tujôh

www.meucensemua.blogspot.co.id
Ilustrasi lé Mikmilia
Lam hikayat jameun geucalitra, na tujôh droe aneuk muda nyang rayeuk that heut geuh meungjak ék aji u tanôh suci Mekkah. Ban tujôh muda seudang nyoe teungôh geupiké kiban cara geujak u Arab padahai meupèng sitali hana lam reugam. Geuikhtiyeu kaleuh meumacam bagoe mangat glah keu ungkoh kapai u tanôh suci nyan. Cit ka éh nan kada nibak Potallah, hana raseuki geuh lom. Teuma heut jak pubuet rukôn aji cukôp that raya sampoe hana pat peutheun lé.

“Meuhan meunoe mantong rakan jeut,” kheun sidroe aneuk muda lam kawan nyan geubi pikéran.

“Tapeurap lé geutanyoe keudéh u pasi, teuntèe na ulèe-ili kapai bôt jak u luwa. Teuma taseutôp ta lakée ikôt, peu-peu nyang mungkén laju takeurija. Meugantoe-gantoe kapai nyang ta ék, asai jitarék geutanyoe u Arabia,”peuneugah aneuk muda nyan ngon bahsa pantôn meuirama. Ban nam rakan nyang laén teuseungap teuhah babah.

“Pakon han kapeugah yôh awai dilèe, teuntèe ka jameun geutanyoe trôh u rumôh Allah,” seuôt sidroe aneuk muda lam kawan nyan ngon seunang haté geuh. Mandum awak nyoe kasapeu pakat ngon akai nyang jibi lé aneuk muda nyan. Teuntèe awak nyoe payah jipeusiap droe ngon makanan seureuta peu-peu mantong nyang peureulée bak jalan, kareuna gampông awak nyan ngon banda jeu’ôh that. Habeh lhèe uroe lhèe malam meunyo geujak ngon tapak.

Singoh jih ban tujôh aneuk muda nyan geubeurangkat laju ngon rayeuk seumangat. Muka geuh reumèh bah pih uroe seuuem lagoina. Rayeuk that hajad bagah meurapat bak mieng kuala. Jeut geu’ék kapai sampoe trôh ban cita. Meunan keuh haba, beungôh meugantoe keu singôh, singôh meugantoe keu lusa, malam meugantoe uroe, meunan keuh meugisa-gisa teutapi aneuk muda nyoe hana trôh-trôh u banda. Bèk an riyeuk meuputa-gisa, meusu manusia hana jideungô su lom. Awak nyan mantong lam uteun raya. Deuk ngon grah hana ngon peusa.

“Pakon hana trôh lom geutanyoe nyoe? Peu keuh mungkén geutanyoe ka sisat?” kheun sidroe aneuk muda nyang ka sakét sijuek seu’uem seureuta la’éh kareuna hèk deuk ngon grah lam perjalanan panyang nyan.

“Buleun di langét ka tujôh go teuka, tapi geutanyoe hana trôh lom. Jéh peunajôh cit ka habéh, kiban cara ta beurangkat lom. Lôn pih ka la’éh that, gaki kuh sakét peudeh leupah na. Badan kuh sijuek meutat-tat jilakèe istirahat,” kheun rakan nyang sakét nyan ngon leumôh asoe geuh.

“Meunoe mantong,” seu’ôt sidroe rakan nyang geuangkèe seubagoe keutua ureung nyan tujôh.

“Bah kamoe nyang trôn meumita gampông, meulakèe tulông soe-soe nyang na. Adak jibi bu meusaboh pingan, nyang peunteng rakan bagah teuga,” peuneugah Keutua nyan geubri usolan.

“Jeut cit meunyo meunan, neutinggai ulôn sidroe inoe, ureung dron neujak laju keudéh. Tiep-tiep useuha teuntée na meuhase geubri lé Po teuh.”

Aneuk muda ban nam nyoe sigra jijak mita tulông, jitrôn jimita pat mantong na gampong. Kareung ngon batèe tajam meugareuh gaki hana lé geurasa. Ban jikalon sidéh jeu’ôh na teuka asap, seunang haté that laju geupeurap keunan geupeutoe. Ladém na asap biasa jih na rumoh. Teuntèe jeut jilakèe tulông keu rakan nyang sakét di công glé jéh.

Oh ka sép hèk geuuseuha, teuma trôh keuh ban nam aneuk muda nyoe bak saboh gampông. Gampông nyan ceudah, gléh seureuta ureung nyang tari-tari ula-ili bak jalan raya. Seunalén bajèe ureung inong meublèt-blèt, meutamah lom ngon ruman candén, babah geuh teukhém-khém seunang leupah na. Bak takue meusawak manèk meuh nyang raya-raya ubé boh lakom, meunan cit jaroe peunoh ngon gleung meuh seureuta euncien nyang dhiet-dhiet wareuna. Meunan cit pinyueng seureuta gaki, bandum meutabu ngon héasan meuh kunéng nyang simban raya.

“Ci ta cuba tanyong bak sidroe ureung inong nyang jak-meujak nyan, pat jeut ta lakèe makanan keu ngon geutanyoe nyang sakét di công glé jéh,” tunyok Keutua bak sidroe ureung inong nyang hana jeu’oh bak awak nyan. Rakan-rakan nyang la’én laju geupeurap, geutawôk ureung inông nyan.

“E hai cut da, neudong siat kamoe keuneuk jak tanyong…” Haba Keutua nyoe payah geukoh kareuna ureung inông nyan langsông geusambôt ngon mirah hu muka geuh.

“Peubuet keunoe hai aneuk muda hai, ruman teuh kuto badan teuh khôh, bajee teuh brôk, hi teuh that gura. Keudeh ka jak laju beujeu’oh, keunoe bèk ka peutoe meubèk ka gisa. Di kamoe nyoe meung jak khanduri bak rumôh ureung kaya. Meunyoe meunoe peukateun di gata, luwat dum ureung han leupah bu jih. Ka deungo lôn, bagah ka minah hai aneuk agam kuto!” marit ureung inông nyan ngon babah meutarék u ateuh meutamah lom krôt muka seubagoe peulahe glak lam haté jih.


(Seunambông calitra nyoe sigo aleuhad teuk ka seuleusoe, teugoh geusalén lé nyang po kalam postingan nyoe)

Baca Juga:

Pantun Doorsmeer Hati



www.meucensemua.blogspot.com
Ilustrasi Mikmilia

Betapa bening betapa mulia
Putih bersih tak bernoda
Menjadi raja semua anggota
Santun dan khidmat tinggilah kharisma

Viral dan Misterius! Di Sinilah Kampung Kuno Suku Mante

www.meucensemua.blogspot.com
Padang sabana Seumileuk (Foto: Al Fatwa)
Ketika sebuah komunitas motor trail melintasi hutan di pedalaman Aceh Besar, tak sengaja kamera mereka menangkap orang kerdil (dwarf) yang berlarian kencang menjauhi mereka. Pengendara motor ini pun mengejar, tapi orang kerdil itu tidak kunjung ditemukan selain sebuah tongkat kayu yang tadi sempat digenggamnya saat menghindar. Video ini pun viral dan sangat misterius. Sebagian orang menyangsikannya, justru menganggap video itu polesan, tapi sebagian besar meyakini video itu asli. Menurut pakar video (animator dan penggarap video-video Aceh) Teuku Abdul Malik, video tersebut orisinil dan bukan editan. Sang pengunggah video (akun Youtube Fredography)  itu pun berkelit habis dari kejaran wartawan. Dia bungkam seribu bahasa. Dalam sebuah komentar sosmed dia berujar, jangan ganggu mereka. Mereka makhluk Tuhan juga yang berhak hidup seperti kita. Jadi, video itu masih menjadi sebuah misteri hingga saat ini. Kesimpulannya, manusia kerdil yang tertangkap kamera itu diyakini sebagai orang Mante, cikal-bakal suku Aceh yang paling awal mendiami Aceh Lhee Sagoe. Perkampungan mereka berada di Seumileuk, pegunungan antara Jantho Kab. Aceh Besar dengan Tangse Kab. Pidie.

Abi Jali
Sedikit memutar masalah endatu moyang Aceh, bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa: Mante (Bante), Lanun, Sakai, Jakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang dari tanah semenanjung Melaka. Kesemua bangsa ini menurut ethnology ada hubungannya dengan bangsa Phonesia di Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga.

Para petualang penyuka alam dan sejarah, sangat tertarik mengunjungi Seumileuk. Biasanya ekspedisi yang dilakukan lewat Gampong Neubok Badeuk, Tangse atau ada juga yang memilih dari arah Jantho atau Seulimuem. Menurut cerita para pawang glé (pemburu), mereka juga mencari rusa dan ikan di Seumileuk. Pawang hutan ini akan mendapat hasil yang menggiurkan karena Seumileuk adalah syurganya para pemburu. Tentu saja bukan isapan jempol mengingat Seumileuk adalah kampung kuno suku Mante yang sangat luas dan potensial. Dataran Seumileuk yang dikelilingi sungai berair deras akan membikin mata tak berkedip (tonton videonya). Di padang sabana inilah kawanan rusa merumput. Sabana ini dikelilingi oleh gunung-gunung cantik yang akan menjadi obat pelepas lelah setelah berhari-hari melakukan ekspedisi jalan setapak. Di sana masih bisa ditemukan bekas kampung warga Seumileuk, masih ada perdu bambu, pemakaman, atau bekas pertapakan rumah yang kini menjadi hutan ilalang seketiak orang dewasa. 

Tonton Video Kampung Kuno Seumileuk di bawah ini


Generasi terakhir yang pernah menetap di kampung kuno ini adalah Abi Jali, warga Neubok Badeuk, Tangse. Beliau seakan menjadi pemegang kunci kampung Seumileuk sehingga para adventurer biasanya akan menghubunginya untuk menjadi guide ke Seumileuk. Sayangnya di usianya yangbertambah  lanjut, Abi Jali sudah tidak mungkin lagi menuntun kita ke sana. Beliau akan menyuruh anak atau saudaranya untuk menemani perjalanan semingguan ke Seumileuk. Tentu suasananya berbeda karena beliau adalah pelaku sejarah itu sendiri.

Orang tua sederhana yang di waktu mudanya pernah berburu badak Sumatra ini punya cukup jam terbang untuk mengantarkan kita bernostalgia ke Seumileuk. Beliau juga pemegang kunci gua-gua raksasa di Seumileuk. Gua-gua curam ini memiliki mulut yang tak terlalu besar dan harus dituruni dengan menggunakan tambang atau tangga yang dibuat darurat. Kedalamannya mencapai 15 meter atau lebih. Bahkan disebut-sebut ada seorang warga yang terjatuh dari mulut gua di sana, tapi jasadnya tidak ditemukan sampai sekarang.

Abi Jali juga punya pengalaman yang seumur hidup akan beliau kenang. Saat itu beliau bersama kedua temannya menyusuri sebuah gua. Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan gemerisik binatang raksasa yang menghadang mereka. Dia yang berjalan paling depan sudah terlanjur melewatinya sehingga tidak mungkin berbalik atau berlari, sementara kedua temannya sudah lari tunggang-langgang. Binatang berkaki dan bersisik itu membuka mulutnya lebar-lebar, menampakkan taring runcing nan tajam yang seukuran pedang. Abi Jali yang pasrah hanya mematung di tempatnya sambil membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Lama ia di sana, bergeming seraya memohon perlindungan dari Sang Pencipta. Entah bagaimana binatang yang diakuinya sebagai naga itu berubah ujud menjadi batu dan tidak bergerak-gerak lagi. Abi Jali memastikannya dengan sinar senter di tangannya (senter ini masih ia simpan). Bola mata si naga yang tadi merah menyala menatap kepadanya kini membeku dalam ujud batu. Kaki, ekor, sisik dan semuanya menjadi batu. Di ekornya ada semacam altar batu. Begitu juga di sekitarnya ada bermacam benda dan hiasan kuno terbuat dari emas. Menurutnya ia memeriksa naga batu itu sedetilnya, termasuk mengukur kaki binatang yang ada dalam dongeng itu, bahkan sempat memanjat kepalanya yang bersisik serta masih mengingat setiap detil tempat itu.


Sungai berikan di dalam gua Seumileuk (Foto: Al Fatwa)

“Meunyo neutamong lam guha nyan, ureung droen pih neutumee kalon naga nyang lon peugah nyoe, kon dongeng,”katanya sangat serius. Mungkin beliau menganggap ceritanya sedikit konyol dengan zaman kekinian, tapi beliau bersikeras naga itu masih ada dalam gua itu di Seumileuk.

Hal ini mungkin saja, karena gua di sana adalah gua kuno yang dihuni para suku Mante. Di dalamnya juga ada sungai dan ikan-ikan, bahkan diyakini juga kuburan-kuburan. Kawanan walet juga gemar bikin sarang di sana. Belum ada yang menaklukkan gua-gua tersebut serta memecahkan teka-teki yang mengganjal di hati banyak orang. Mungkinkah Abi Jali sedang memasuki sebuah alam kuno gaib di kala mengalami kejadian ini? Wallahu a’lam! Yang patut dicatat, seorang pawang gle adalah orang-orang yang bersinergi dengan alam raya. Mereka bisa berinteraksi secara batin dengan bermacam binatang sehingga binatang-binatang liar itu jinak. Pawang senior seperti Abi Jali ini sangat realistis dan pemberani, tidak terjebak dalam mistis.

Suku Mante Seumileuk ini dulunya hidup membaur dalam masyarakat Aceh, tapi karena keadaan perpolitikan Aceh yang tak menentu pada masa sultan terakhir, Sultan Muhammad Daud Syah yang terpaksa menyerah pada Belanda, orang Mante pun menghilang dari peradaban. Mereka hidup menyendiri dan primitif sampai sekarang.

Tapi tahukah Anda ada warga Tangse yang keturunan langsung orang Mante? Warga tersebut masih hidup sampai sekarang serta memiliki kemiripan fisik dengan manusia ubeut itu. Sayangnya Abi Jali tidak mau berbuka lebih jauh tentang isu menarik ini. Antara beliau dan si pengunggah video memiliki kesamaan sikap untuk tutup mulut tentang orang Mante. Mungkin kita pun harus bersikap demikian.

Kamus Aceh:
  1. Meunyo neutamong lam guha nyan, ureung droen pih neutumee kalon naga nyang lon peugah nyoe, kon dongeng (Kalau Anda masuk gua itu Anda pun akan melihat naga yang saya maksudkan, bukan isapan jempol) 
  2. Ubeut (kecil) 


Baca Juga:

Ternyata di Laweung Selain Gua Tujoh Ada Gua Unoe/Lebah

www.meucensemua.blogspot.com
Gua Unoe di Laweung, Pidie. Foto: Nuzul

Seputaran pabrik semen Laweung-Batee adalah kawasan batu karang yang mudah dijumpai lubang-lubang alami dan ceruk-ceruk dalam yang belum habis diteliti. Di sanalah banyak dijumpai gua-gua dalam tak bernama dengan keunikannya tersendiri. Bila Anda mengira hanya Gua Tujoh yang ada di Laweung, stop!!! Anda salah besar. Yang benar Gua Tujoh adalah gua terbesar dan terpopuler yang pernah ditemukan di sana. Sebenarnya kalau Anda jalan-jalan dari Kulee Batee sampai ke Laweung, tepatnya di barisan pegunungan yang berhutan jarang itu, pada batu-batu karang di kedua sisi jalan, pada bukit-bukit rendah yang melelahkan dan membikin mudah tersesat saat didaki, di sana banyak tersembunyi lubang-lubang alam ciptaan Tuhan atau gua alami, serta lubang-lubang rahasia yang dibuat untuk tujuan tertentu semasa invansi tentara Jepang tempo dulu. Kedua-duanya sama menarik untuk dijelajahi.

Cerita Legendaris Pencuri Tujuh Part 2 (Habis)



Ilustrasi Mikmilia www.meucensemua.blogspot.com
Cerita dan Ilustrasi: Mikmilia

Mulailah semua trik dikeluarkan oleh ketujuh maling populer  itu. Mula-mula Jokwir yang berwatak culas mendapat ilham untuk menyikat ayam jago yang ada di rumah sobatnya, Meun. Dia pun bergegas melaksanakan niatnya. Benar saja, di rumah Meun ada seekor ayam jago kuat yang biasanya dibawanya taruhan di gelanggang sabung ayam. Jokwir pun dengan cekatan membungkamnya